Cerita Pendek Ketika Mas Gagah Pergi
Setelah nonton bareng
film ketika mas gagah pergi bersama teman-teman keluarga mahasiswa pascasarjana
UNY 2016, Saya mendapatkan banyak pesan moral bahwa sesungguhnya islam itu
indah dan islam itu cinta. Di tengah banyaknya acara televisi dan tontonan yang
kurang mendidik, Film ini hadir memberikan nuansa yang berbeda. Dikemas menarik
dan cocok dikonsumsi oleh kalangan muda. Ingin rasanya saya berbagi cerita dari
karya legendaris bunda Helvi Tyana Rosa yang menginsprasi. Hal tersebut yang membuat saya mulai mencari-cari naskah cerita pendek agar
bisa dibaca dan dipahami menurut perspektif masing-masing. Walaupun terdapat
sedikit perbedaan antara cerita pendek, novel dan filmnya, namun secara
keseluruhan karya ini patut diacungi jempol. Yuk intip sedikit cerita
pendeknya!
“Mas
gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara
kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di
Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas,
periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri
dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak
ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang
menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku
bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek
kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak
bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi
semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan
menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau
sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat
lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan
sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan
teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira
ria di Dufan Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah.
Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak
teman-temanku menyukai sosoknya.
“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak
sih?”
“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku
suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!”
“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?”
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada
yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia
belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
“Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas
pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata
Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok
ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut
menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah
mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak
mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan
kini entah kemana…
"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku
kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban.
Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan
pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi
aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
“Assalaamu’alaikum!"seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum
lembut Mas Gagah.
"Wa alaikummussalaam warohmatullahi
wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
“Matiin kasetnya!"kataku sewot.
"Lho memangnya kenapa?”
“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita
orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!”
“Bodo!”
“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan
hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas
Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama
bingung. Jadinya ya dipasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply
yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!”
“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” Aku ngeloyor pergi sambil
membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir
mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham,
Elton John, Queen, Eric Claptonnya?“
"Wah, ini nggak seperti itu Gita!
Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi
pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja
di kamar. Mas punya banyak kok!” begitu kata Mas Gagah.
Oala.
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma
itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas
dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk
mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim.
Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku
iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam.
Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku
yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya “Ayo dong
Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan
buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik
manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!”
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja
melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok
seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku
meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan
Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas
Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.
“Penampilanmu kok sekarang lain Gah?”
“Lain gimana Ma?”
“Ya nggak semodis dulu. Nggak trendy lagi. Biasanya kamu kan paling
sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”
Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini
Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.”
Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan
menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu
dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino.” Komentarku menyamakannya dengan supir kami. “Untung aja
masih lebih ganteng.”
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak
rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas
Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan
bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati
sebelah rumah kebingungan.
Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman
sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?“
"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak
mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita
tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!”
“Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu,” dalihnya,
lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. “Gita lihat kan gaya orang Sunda
salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk
melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?“
Mas Gagah membuka sebuah buku dan
menyorongkannya kepadaku."Baca!”
Kubaca keras-keras. “Dari Aisyah
ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan
tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim.”
Mas Gagah tersenyum.
“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz
Ali…,” kataku.
“Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?” Kata Mas
Gagah sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya dik manis?”
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan
seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku
jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia
terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani
menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru
dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata
batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas
dalam-dalam.
“Mau kemana Gita?”
“Nonton sama temen-temen.” Kataku sambil mengenakan sepatu.“Habis Mas Gagah kalau diajak nonton
sekarang kebanyakan nolaknya.”
“Ikut Mas aja yuk!”
“Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego
di sana!”
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu
Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku
diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku
diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana
dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi
rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku
memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil
ngancam nggak mau ikut.
“Assalamualaikum!” terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama
kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan
teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis
kelakuannya Mas Gagah.
“Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak
akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka
padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir.
"Ssssttt.”
Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan
mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau
bahasa Arab… yaa begitu deh!
“Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!” Seru Tika setengah histeris
mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab
rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
“Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” Suaraku yang
keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
“Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya
saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita.” Ujar Tika
sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan
paling nyata di sekolah ini.”
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra
memang mirip Mas Gagah.
“Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji.
Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang
seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka
hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum
ngerti dan sering salah paham.”
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah
bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia
menjelma begitu dewasa.
“Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita
tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, ” ujar Tika
tiba-tiba.
“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…” kataku
jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya
bergerak ditiup angin.“ Aku senang kamu mau membicarakan hal ini
denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian
kukenalkan dengan Mbak Ana.
"Mbak Ana?”
“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah
pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
"Hidayah.”
“Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!”
“Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!” tegurku ramah.
‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung
pulang!“ Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
"Dari rumah Tika, teman sekolah,
"jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari
kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina,
Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar.
Lalu dua rak koleksi buku keislaman…
"Cuma lagi baca!”
“Buku apa?”
“Tumben kamu pingin tahu?”
“Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.
"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha
menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan
menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya
dengan wajah yang setengah memerah.
"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas
Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan
Tata Cara Meminang dalam Islam” itu.
“Maaas…”
“Apa Dik Manis?”
“Gita akhwat bukan sih?”
“Memangnya kenapa?”
“Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…” tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar
dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang
ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di
dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang
hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali
menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus bicara.
Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah
kulihat sebelumnya.
“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh.
Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah.
Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang,
saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya,
mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit.”
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang
gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
“Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.
“Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja. Gita ngerti kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga
pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku
milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai
dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda
dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo,
mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar.
Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan
Papa juga ikut.
“Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya
kapan?” tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara
pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding
tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan
perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana
ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam
perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara
pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan
kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak
mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi
denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok
panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Nyoba pakai jilbab. Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih
anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama.”
Memang sudah beberapa hari ini Mama
berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku
tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
“Gita mau tapi nggak sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimana
dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang
wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
“Ini hidayah, Gita.” Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita
pakai rok aja udah hidayah.
"Lho! ” Mas Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah
Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan
FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada
di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, “Hei itu kan Mas Gagah-ku!”
Mas Gagah tampil tenang. Gaya
penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar
biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan
ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas.
Aku sempat bingung, “Lho Mas Gagah kok bisa sih?” Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang
dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara
tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. “Betapa Islam
yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang
wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai
identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam
itu sendiri, ” kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya
kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang
sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang
rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap
hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah.
Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan
datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan
untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira.
Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran
yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat
rumah kami.
“Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas
Gagah dengan riang.
"Mas Gagah belum pulang. "kata
Mama.
"Yaaaaa, kemana sih, Ma??” keluhku.
“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari
kampus…”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di
rumah temannya, atau di Mesjid. ”
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini.” Hibur Mama
menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!” Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang
kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..” hibur Mama
lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit
berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
“Nginap barangkali, Ma.” Duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu
bilang, Pa.”
Aku menghela napas panjang. Menguap.
Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera
pulang dan melihatku memakainya.
“Kriiiinggg!” telpon berdering.
Papa mengangkat telpon,“Hallo. Ya
betul. Apa? Gagah?”
“Ada apa, Pa.” Tanya Mama cemas.
“Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaahhhh” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju
Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas
Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang
kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas
Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam
ruangan.
“ Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya
pakai jilbab ini.” Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku. “Sabar sayang,
sabar.”
Di pojok ruangan Papa dengan serius
berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas
Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?” Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku
kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh
yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…” bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di
rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak
paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa
dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga.“
Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas
Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan
Gi..”
“Gita…” suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan waktu yang ada untuk
mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya
terlalu parah.“ Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan
harapanku!.
"Mas…ini Gita Mas..” sapaku
berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya
seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah
pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada
tangannya.”
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
“Dzikir…Mas.” Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang
separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
“Gi..ta…”
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
“Gita di sini, Mas…”
Perlahan kelopak matanya terbuka.
“Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…” kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum.
Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…” ujarku
pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk
gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku
keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa
menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami
semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin
pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa
mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman
dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. “Sebut nama
Allah banyak-banyak…Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah.
Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman
sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah.
Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
“Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami
dengar.
Mas Gagah telah kembali kepada Allah.
Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang
terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami
bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas
Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda,
manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang
tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini
lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu
diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam
Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di
dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d
iruangan ini.
Setitik air mataku jatuh lagi.
"Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!”
“Kok nanya gitu sih?”
“Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?”
“Ganteng kan?”
“Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?” Jihad itu apa sih?“
"Ya always dong, jihad itu…”
Setetes, dua tetes air mataku kian menganak
sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas
Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga
memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!
————————————————
Sudah selesai membacanya?
Masih menggantungkah ceritanya? Sabar..., masih ada part 2 yang pastinya lebih
seru. Mas Gagah oh Mas Gagah, adakah sosokmu di tahun 2016 ini? Seorang muslim
negarawan yang dinanti umat, yang sentiasa memberikan
oase iman dalam keringnya dahaga kalbu. Cerdas tapi memahami batas. Sopan yang
membuat orang lain segan. Santun yang menjadikannya seorang penuntun.
“Jika kita tidak setuju dengan suatu kebaikan yang belum kita
pahami, cobalah untuk bisa menghargainya.” Merupakan quote yang disampaikan
oleh mas gagah dalam filmya. Saya sangat sepakat dengan pendapat tersebut,
bahwa kita tidak boleh menjudge perubahan
seseorang dengan opini subjektif yang mengarah pada prasangka buruk. Padahal
kita tak sepenuhnya tahu bahwa yang bersangkutan sedang berusaha berhijrah untuk
memperbaiki dirinya. Sehingga, berbaik
sangka harus terus ditanamkan dalam diri kita karena hidayah bisa datang kapan
saja seperti yang tertulis dalam Q.S Al-Kahf (18) ayat
ke 17, "Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang
mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan
mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya."
Tanah Istimewa, 09 Februari
2016
Comments
Post a Comment