Refleksi Sekolah Kepemimpinan Perempuan
“PELATIHAN MANAJEMEN ORGANISASI
BAGI ORGANISASI PEREMPUAN MUDA”
Oleh Nindya Ayu Pristanti
Sekolah kepemimpinan perempuan yang
diadakan oleh LAMIM dan Leadership Center
pada tanggal 28-30 Oktober 2016 di Mess Korem 072 Pamugkas Yogyakarta diikuti
oleh 32 peserta perempuan muda yang berasal dari organisasi di wilayah Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Jateng-D.I.Y). Endah Cahya Immawati yang
merupakan ketua dari leadership center
mengatakan bahwa kegiatan positif ini didukung oleh Kementerian Pemuda dan
Olahraga. Sekolah Kepemimpianan Perempuan yang bertepatan pada hari sumpah
pemuda merupakan momentum pemberdayaan perempuan untuk melatih jiwa
kepemimpinan dan manajemen dalam organisasi.
Pelatihan ini terdiri dari sepuluh
materi yang dapat mengembangkan skill
para perempuan muda, diantaranya: kepemimpinan perempuan, problematika
kebangsaan, kepemimpinan dan manajemen organisasi, hubungan masyarakat dan
keprotokolan, teknik komunikasi dan teknik lobby,
manajemen konflik dan problem solving,
teknik persidangan, psikologi perempuan dan kesehatan reproduksi,
kewirausahaan, teori dan praktek, serta knowledge
management, investigasi dan penulisan.
Kepemimpinan perempuan merupakan
topik yang sangat ramai dibicarakan dikalangan para aktivis karena erat
kaitannya dengan kesetaraan gender sehingga memiliki pro dan kontra yang
dipandang dari berbagai perspektif. Namun, pada materi kali ini, saya selaku
peserta menyadari bahwa kepemimpinan perempuan yang dimaksud tidaklah seekstrim
yang banyak dibicarakan para kaum feminis. Perempuan harus memiliki jiwa
kepemimpinan baik dalam ranah domestik maupun publik. Istilah gender yang
cenderung abu-abu, kini tampak jelas bahwa perempuan dan laki-laki sebenarnya
dapat saling mendukung. Masyarakatlah yang mengkonstruksikan hal negatif
terhadap perempuan. Perempuan juga bisa menjadi pemimpin dalam ranah publik
jikalau ia memiliki kemampuan yang mumpuni.
Jika
dipandang dari segi agama, banyak ayat dalam kitab suci Al-Qur’an yang
menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama, yang membedakan adalah
ketakwaannya (Q.S Al Hujuraat:8). Namun perlu dipahami dan ditegaskan agar
tidak salah kaprah, dalam beberapa ayat yang menyangkut kerumahtanggaan seperti
pada (Q.S An Nisaa’:34), jelas disebutkan bahwa posisi laki-laki adalah pemimpin atau imam bagi perempuan sehingga posisi perempuan adalah makmum. Namun,
Perempuan juga bertugas sebagai manajer rumah tangga. Ia membantu laki-laki
dalam memimpin urusan domestik rumah tangganya. Sehingga, aktivitas laki-laki
dan perempuan bisa saling mendukung.
Banyak
istilah yang terdapat dalam kesetaraan gender, seperti marginalization (terpinggirkan) dan subordination (dinomorduakan), stereotype ( label negatif), double burden (beban ganda), dan violence (kekerasan). Hal inilah yang
membuat sebagian perempuan merasa tidak adanya keadilan gender. Namun,
pemahaman ini harus diluruskan agar tidak mengakar dalam pemikiran masyarakat
luas yang berimbas pada masa depan perempuan.
Pertama
marginalization dan subordination, Banyak
perempuan merasa termarjinalisasi dan merasa di nomor duakan. misalnya, dalam
sebuah kepengurusan, perempuan menjadi sekretaris atau bendahara, yang menjadi
ketua adalah laki-laki. Sehingga, perempuan merasa bahwa dirinya dipinggirkan
dan dinomorduakan. Padahal, hal tersebut kembali lagi pada “kemampuan atau kapabilitas” diri perempuan
tersebut. Banyak juga pemimpin perempuan di luar sana, seperti Ibu Risma,
Walikota Surabaya, Ibu Rita Widyasari (Mantan Bupati Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur), Ibu Siti Masitha Soeparno (Bupati Tegal, Jawa Tengah) dan
perempuan hebat lainnya. Mereka mampu memimpin sehingga terpilih menjadi
seorang pemimpin, maka hal yang harus dilakukan adalah memantaskan diri untuk
menjadi seorang pemimpin.
Kedua,
stereotype, Banyak anggapan bahwa
perempuan itu lemah dan tidak berdaya, cengeng, centil, manja dan label negatif
lainnya. Anggapan ini harus dihilangkan dengan empowering perempuan yaitu pemberdayaan perempuan, bahwa
sesungguhnya perempuan itu memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan, multi tasking dan cekatan. Perempuan bisa
menyelesaikan berbagai pekerjaan dalam satu waktu. Umumnya, masyarakat menilai
bahwa perempuan selalu melibatkan perasaan sedangkan laki-laki melibatkan
logika, sehingga jika terkendala dalam suatu permasalahan, laki-laki yang mampu
memecahkan masalah tersebut. Padahal, pada kenyataannya banyak juga perempuan
yang mampu mengontrol dirinya untuk menyeimbangkan perasaan dan logika sehingga
mampu menyelesaikan permasalahan secara bijak. Masyarakat terlalu sering
memberikan konklusi hanya dari gejala mayoritas yang ada.
Ketiga,
Double burden atau peran ganda perempuan
yatu memiliki peran sebagai ibu, mengurus urusan domestik rumah tangga dan juga
memiliki peran sebagai anggota masyarakat yang harus bekerja di ranah publik.
Hal ini dapat disiasati dengan membagi tugas rumah tangga antara ayah dan ibu
serta anak-anak, sehingga perkerjaan menjadi lebih ringan. Perlu pemahaman
terhadap laki-laki bahwa tugas domestik tidak semata-mata dikerjakan oleh
perempuan. Tidak ada yang salah jikalau ayah harus membantu ibu membersihkan
rumah, disamping ibu harus memasak dan mencuci pakaian, serta anak-anak
membereskan tempat tidur mereka. Pembiasaan adalah hal yang harus ditanamkan
untuk menciptakan keluarga harmoni yang saling mendukung satu sama lain.
Keempat,
Violence atau kekerasan. Perempuan
sering dijadikan objek kekerasan bagi
laki-laki. Banyak kasus dalam KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) dimana
perempuan menjadi objek dalam kekerasan yang tidak hanya kekerasan fisik,
tetapi juga kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan
fisik merupakan suatu perbuatan yang bisa mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
ataupun luka berat. Aktivitasnya seperti menendang, memukul, menyundut,
melakukan percobaan pembunuhan, melakukan pembunuhan dan perbuatan lainnya yang
dapat mengakibatkan cedera. Kekerasan psikis adalah tindak kekerasan yang
menyangkut psikis atau jiwa seperti merendahkan, menghina, manipulasi, bahkan
eksploitasi. Kekerasan seksual yaitu dimana laki-laki melakukan kontak fisik
secara paksa dan bersifat merendahkan dan menyakiti perempuan. Kekerasan
ekonomi yaitu tindak kekerasan dimana laki-laki menelantarkan istrinya, tidak
memberi nafkah, memaksa istrinya untuk bekerja dengan cara eksploitatif, serta
manipulasi harta benda. Perempuan juga sering dijadikan sebagai ikon dalam
mempromosikan suatu produk yang terkadang self
esteem atau harga diri perempuan cenderung direndahkan.
Begitu
kompleks permasalahan yang terdapat dalam gender
inequalites atau Ketidaksetaraan gender, maka perempuan harus memiliki jiwa
kepemimpinan dan manajemen yang baik untuk memberdayakan potensi yang ia
miliki. Sekolah kepemimpinan ini mengajarkan kami agar menjadi perempuan yang
kuat dan menjadi calon ibu yang hebat untuk anak-anak kami kelak. Selain itu, Pelatihan
ini juga membekali kami untuk menjadi perempuan yang mampu memberikan
kontribusi dalam masyarakat karena perempuan adalah tiang negara yang mampu menciptakan
masyarakat madani dengan harapan Indonesia menjadi negara yang Baldatun Thayyibatun wa rabbun Ghafur (Negeri
yang subur dan makmur, adil dan aman),
dimana yang berhak akan mendapatkan haknya, yang berkewajiban akan
melaksanakan kewajibannya dan yang berbuat baik akan mendapatkan anugerah
sebesar kebaikannya.
Waallahu A'lam Bishawab
Tanah
Istimewa, November 2016
Comments
Post a Comment